Ahok - Djarot | Paling Tidak Konsisten Kaidah Bahasa Indonesia

   - Siapa yang tak kenal Ahok dan Djarot di negeri ini. Mungkin yang tak kenal mereka adalah orang yang hidup di pelosok sehingga tidak ada akses internet dan informasi. Atau orang yang sama sekali antipati terhadap berita politik tanah air.

Meskipun Ahok dan Djarot bukanlah pemimpin nasional (mereka 'hanya' gubernur), tapi masyhur ke seantero nusantara karena 'hanya' menjadi gubernur di DKI Jakarta. Sudah barang tentu, karena menjadi pemimpin di pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat hiburan, dan pusat-pusat lainnya, segala tindak tanduknya menjadi perhatian seluruh warga Indonesia.

Terlebih dalam proses pencalonan keduanya dalam pilkada DKI Jakarta 2017 mendatang. Proses yang mengalami tarik ulur dan pasang surut serta kontroversi yang panjang, menjadikan keduanya selalu menjadi pemberitaan secara nasional. Semakin ngetoplah mereka.


Tulisan ini tidak ingin memperpanjang dan memperlebar perihal proses politik, ini blog tentang bahasa dan budaya, bukan blog politik apalagi kriminal. Tetapi, karena sudah terlanjur menjadi perhatian masyarakat seluruh Indonesia, saya juga tergelitik membahas Ahok dan Djarot. Yang jelas, pembahasan di sini berdasarkan pendekatan bahasa Indonesia.

Judul dalam artikel ini tidak mengada-ada. Judul itu benar adanya. Tetapi tolong dibaca lengkap agar tidak menimbulkan kesalahan tafsir apalagi dituduh kampanye hitam apalagi SARA. Saya juga takut dipenjara. (Tadi sebelum nulis ini baca berita: Revisi UU ITE disahkan DPR). Kalau tidak hati-hati menyatakan pendapat bisa dipenjara karena pencemaran nama baik nih.


Kembali ke pembahasan, nama Ahok dan Djarot paling tidak konsisten jika dilihat dari sudut pandang kaidah penulisan Bahasa Indonesia. Lebih-lebih jika menggunakan kaidah EyD alias, Ejaan yang Disempurnakan.

Nama lengkap Ahok adalah Basuki Tjahaja Purnama. Sementara nama lengkap Djarot adalah Djarot Syaiful Hidayat. Apa yang yang tidak konsisten? Yang tidak konsisten adalah penggunaan hurufnya.

Kita bahas mulai Ahok. Nama lengkapnya adalah Basuki Tjahaja Purnama juga bisa disingkat BTP. Hanya ada satu kata yang tidak konsisten yaitu: Tjahaja alih-alih dari kata 'cahaya'. Dalam kata Tjahaja digunakan ejaan lama yang masih belum disempurnakan.

Huruf C dalam ejaan lama ditulis 'Tj'. Dalam ejaan lama huruf 'j' dibaca 'y'. Tetapi dalam kata 'basuki' dan 'purnama' tidak digunakan ejaan lama. Seharusnya jika menggunakan ejaan lama, maka tulisannya adalah Basoeki Tjahaja Poernama. Penulisan rangkaian huruf 'oe' untuk menggantikan 'u'. Sama dengan dua presiden pertama Indonesia yaitu Soekarno dan Soeharto, masing-masing dibaca Sukarno dan Suharto.

Begitu pula dengan calon wakil gubernur Djarot Syaiful Hidayat. Ketidakkonsistenannya tampak dari kata pertama yang mengandung huruf 'j' yang ditulis dengan ejaan lama 'dj'. Saya jadi ingat salah satu merek dagang yang identik dengan angka 76. Ada huruf 'd' di depan 'j'. Tetapi sama dengan Basuki Tjahaja Purnama, penulisan nama Syaiful Hidayat tidak menggunakan ejaan lama. Jika ditulis dengan ejaan lama, menjadi Djarot Sjaifoel Hidajat.

Atau jika ingin ditulis dalam ejaan yang disempurnakan, pasangan Ahok-Djarot bisa ditulis Basuki Cahaya Purnama-Jarot Syaiful Hidayat. Ada lagi yang menunjukkan sangat tidak konsisten yaitu: panggilan Ahok. Ini panggilan dari mana? Basuki Tjahaja Purnama. Di mana kata 'ahok'nya?


Entahlah, seperti kata sastrawan William Shakespare apalah arti sebuah nama. Tidak penting nama itu bagaimana yang penting orangnya. Terlebih, nama itu juga masalah terlanjur. Contohnya, salah satu murid di sekolah saya. Namanya terlanjur ditulis 'JUBRI' di ijazah SD. Akhirnya di ijazah SMP juga ditulis JUBRI, padahal dia ngotot bahwa namanya adalah JUPRI. Sampai tua nanti, namanya pasti juga JUBRI di dokumen kependudukan dan dokumen lain.

Mungkin Ahok - Djarot mengalami keterlanjuran. Mereka pasti masih belum bisa mengusulkan nama yang akan mereka gunakan. Pasti juga belum bisa protes. Seperti nama saya yang terlanjur panjang, sulit diingat, dan hasil perkawinan bahasa Arab dan bahasa Jawa.

Efek nama saya yang panjang dan hasil kawin silang dua bahasa, ada kesalahan penulisan nama di ijazah SMA. Kurang satu huruf, mengurusnya pusing bukan buatan. Bolak balik ke kantor dinas pendidikan untuk membuat surat pernyataan berkali-kali. Dalam hal ini, saya tidak percaya dengan ucapan Shakespare, menurut saya arti sebuah nama adalah bolak-balik ke kantor dinas pendidikan. Wah, kok jadi saya curhat sendiri ya.

Selebihnya, selamat memilih warga Jakarta dan Kota serta Provinsi lain se-Indonesia dalam Pilkada Serentak 2017. Gunakan kepala, tapi dinginkan dulu sebelum digunakan. Jangan gunakan yang panas.

Mungkin, jika Shakespare masih hidup dan tinggal di Indonesia dia akan menulis: Apalah arti sebuah Pilkada. 

Salam Pusatamun!

Previous
Next Post »